Komodo jatuh cinta ( 5 )
Part 5: Duel Cinta dan Sambel Tempe
Sejak deklarasi perang cinta dari Supirmin, hidup gue jadi penuh warna... warna merah merona karena malu dan warna biru lebam karena sering ngumpet di balik bangku demi ngindarin dia. Gue gak nyangka bakal terjebak dalam cinta segitiga absurd antara gue, Yanita, dan Supirmin—yang lebih mirip campuran Superman dan komodo betina.
Pagi ini, suasana sekolah udah gak normal. Poster-poster bergambar muka gue tersebar di mana-mana dengan tulisan "Pangeran Ade, Sang Idola Hati." Ada yang ditempel di mading, ada yang di wc sekolah , bahkan ada yang nempel di punggung kepala sekolah. Gue yakin ini semua kerjaan Supirmin alias nikita.
Bel masuk berbunyi. Gue duduk di kelas sambil pura-pura baca buku (padahal bukunya terbalik). Yanita duduk di bangkunya, senyum tipis ke arah gue. Senyum yang bikin jantung gue salto. Tapi di saat yang sama, Supirmin tiba-tiba masuk kelas sambil bawa termos pink berbentuk kepala kelinci.
"Selamat pagi, Pangeran Ade!" serunya ceria, secerah lampu neon 100 watt di tengah malam. Semua mata langsung tertuju ke gue. Gue ngerasa kayak aktor utama di film horor yang sebentar lagi bakal diterkam zombie.
"Eh... pagi, Min," jawab gue, lebih terdengar kayak suara tokek daripada manusia.
"Aku bawain kamu sambel tempe favorit kamu!" Dia duduk tepat di samping gue, buka termosnya, dan aroma pedas langsung memenuhi ruangan. Beberapa temen sekelas mulai bersin-bersin, dan gue curiga ada yang pingsan di pojokan.
"Eh, Min... terima kasih, tapi... gue lagi gak lapar," gue mencoba halus.
"Ya udah, aku suapin aja, biar gak repot!" Tanpa aba-aba, Supirmin udah nyodorin sendok berisi sambel tempe ke mulut gue. Gue reflek mundur, tapi kursi gue mentok dinding. Sementara itu, Yanita ngeliatin dari jauh, ekspresinya kayak lagi nonton drama Korea episode paling serem.
"Makasih, tapi beneran gue udah kenyang," gue ngeles sambil senyum kaku.
"Ade, kamu nggak apa-apa?" Yanita tiba-tiba mendekat. Mata gue langsung berbinar. Mungkin ini kesempatan gue buat jelasin semuanya!
"Nita! Gue... gue bisa jelasin—"
"Jangan dengerin dia, Nita! Ade itu lagi sakit! Liat nih, mukanya pucat banget!" Supirmin langsung narik tangan gue dan nyenderin kepala gue ke pundaknya. Temen-temen sekelas langsung bikin efek suara "Ooooo..." seolah-olah mereka lagi nonton sinetron langsung.
Yanita terdiam. Matanya berkaca-kaca. "Jadi... beneran, Ade? Kamu sama dia?"
Gue panik. "Enggak! Gak gitu, Nita! Gue sama Supirmin itu kayak... kayak... eh... kakak-adik!" Gue bingung, bahkan DNA keluarga gue sendiri pun bakal bingung denger pernyataan gue barusan.
Tiba-tiba, suasana makin tegang ketika Boy, dia berjalan ala ketua geng paling berpengaruh di sekolah, muncul di pintu kelas. Dia jalan pelan-pelan ke arah gue, sambil ngebalikin kursi yang ada di jalurnya. Anak-anak langsung minggir, seolah-olah nabi muda lagi ngebelah Laut Merah.
"Bro, gue denger-denger... lo mainin perasaan cewek-cewek di sekolah ini?" suara Boy berat, kayak narator trailer film action.
"Gak... gak gitu, Boy... Ini cuma salah paham!" Gue nyoba jelasin, tapi Boy udah berdiri di depan gue.
"Jadi, lo milih siapa? Nikita atau Supirmin, ehh yanita apa nikita ?" Boy ngelipet tangannya di dada. Yanita dan Supirmin berdiri di samping gue, masing-masing dengan tatapan bingung.
Gue nelen ludah. "Eh... Gue... Gue pilih..." Gue berasa kayak lagi main who ones to be milioner.
Tiba-tiba bel istirahat berbunyi. Semua anak langsung keluar kelas, termasuk Boy, seolah-olah adegan dramatis barusan cuma trailer doang. Dia kembali jadi cowo feminim sambil bilang "dah ya cuss" .Gue duduk terdiam, bingung antara mau ketawa atau nangis.
Supirmin masih di situ, tatapannya gak berubah. "Pangeran Ade, apapun keputusanmu, aku akan tetap mendukungmu... dengan sambel tempe ini." Dia nyodorin termosnya lagi.
yanita cuma liatin gue dengan tatapan kasian.
Gue hanya bisa terdiam. Dalam hati gue berdoa, semoga esok hari gue masih hidup... dan masih punya mulut utuh kalau dipaksa makan sambel tempe lagi.
TO BE CONTINUED...